Review Film "Pengepungan di Bukit Duri" (2025): Distopia Sosial dan Kritik Tajam Joko Anwar terhadap Indonesia
LAPAK VIRAL - Tak banyak sineas Indonesia yang berani menyentuh luka lama bangsanya. Namun, Joko Anwar kembali membuktikan keberaniannya lewat film ke-11 bertajuk "Pengepungan di Bukit Duri", sebuah distopia urban yang menyentil realitas sosial-politik Indonesia. Berlatar Jakarta tahun 2027, film ini menyuguhkan gambaran suram tentang kekerasan sistemik, konflik etnis, dan gagalnya pendidikan sebagai fondasi bangsa.
Dibuka dengan trigger warning, film ini langsung mengisyaratkan bahwa penonton akan dihadapkan pada berbagai adegan yang menggugah, dari kekerasan fisik, trauma, hingga ujaran kebencian yang disampaikan secara frontal.
Potret Kelam Sejarah dan Prediksi Masa Depan yang Menyeramkan
Tanpa harus menyebut peristiwa secara gamblang, film ini menyiratkan banyak tragedi masa lalu Indonesia, mulai dari genosida 1965, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, hingga kerusuhan Mei 1998. Semua dikemas sebagai semacam peringatan: jika bangsa ini terus mengabaikan rekonsiliasi sejarah, maka distopia seperti di "Pengepungan di Bukit Duri" bisa saja menjadi kenyataan.
Melalui naskah dan visual yang kuat, Joko Anwar menyoroti kegagalan pendidikan dan tumpulnya sistem sosial sebagai pemicu runtuhnya kemanusiaan. Film ini juga menjadi sindiran keras terhadap kondisi sosial-politik Indonesia hari ini, yang masih diwarnai intoleransi dan kekerasan.
Kekerasan yang Dinormalisasi: SMA Duri dan Anak-anak yang Marah
Cerita bermula dari suara kerusuhan di Jakarta. Kota digambarkan mencekam, dengan teriakan rasis seperti “b*bi” dan “cina” terdengar di mana-mana. Dari kekacauan itu, muncul sosok Edwin (diperankan oleh Morgan Oey), seorang guru keturunan Tionghoa yang tengah mencari keponakannya yang hilang. Pencarian membawanya ke SMA Duri, sebuah sekolah yang dipenuhi murid-murid bermasalah.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat pendidikan dan pembentukan karakter justru berubah menjadi pusat kekacauan. Murid-murid SMA Duri dibentuk oleh lingkungan penuh kekerasan—baik dari keluarga, masyarakat, maupun sistem pendidikan itu sendiri. Guru kehilangan wibawa, dan murid tumbuh dengan kemarahan.
Salah satu karakter mencolok adalah Jefri, diperankan memukau oleh Omara Esteghlal. Ia bukan hanya sosok antagonis, tapi juga simbol dari generasi yang terluka dan tak pernah mendapat ruang untuk menyembuhkan diri. Dalam banyak adegan, tatapan mata Jefri lebih tajam dari dialognya—menyampaikan amarah, dendam, dan keputusasaan yang dalam.
Akting Realistis dan Naskah yang Menggugah
Morgan Oey tampil sangat kuat sebagai Edwin, guru yang tidak digambarkan sebagai pahlawan konvensional, tetapi sebagai manusia biasa yang gamang, takut, dan penuh tekanan. Sementara itu, para pemain muda seperti Endy Arfian, Satine Zaneta, Fatih Unru, hingga Dewa Dayana juga tampil memikat dalam adegan-adegan aksi dan emosi yang intens.
Film berdurasi 1 jam 58 menit ini bukan hanya sajian thriller aksi, tapi juga cermin sosial yang menohok, yang akan terus terngiang bahkan setelah film usai. Dirilis di bioskop mulai 17 April 2025, "Pengepungan di Bukit Duri" diproduksi oleh Come and See Pictures bekerja sama dengan Amazon MGM Studios, menandai salah satu kolaborasi internasional paling menarik dalam sejarah perfilman Indonesia.
Kesimpulan
"Pengepungan di Bukit Duri" bukan sekadar film aksi distopia, tapi juga peringatan keras tentang arah masa depan Indonesia. Dengan narasi kuat, sinematografi mencekam, dan kritik sosial yang tajam, film ini layak disebut sebagai salah satu karya paling berani dan penting dalam perfilman Indonesia modern.
Post a Comment